Mengapa bangsa Indonesia selalu (dianggap) tertinggal dari bangsa-bangsa lain, khususnya dari bangsa eropa atau Amerika Utara??
Terlepas dari apakah ketertinggalan itu memang benar adanya, satu hal yang saya amati, ketertinggalan, keterbelakangan, dan perasaan inferior itu justru ada dalam benak dan otak bawah sadar bangsa Indonesia sendiri.
Maksud saya begini. Sebuah bangsa yang merasa tertinggal, normalnya, akan selalu memacu diri untuk tidak lagi tertinggal. Suatu bangsa yang menyadari identitasnya, semestinya, akan menolak untuk menjadi inferior dibanding bangsa lain. Dan sebagai konsekuensi, akan terus memperbaiki diri untuk sekedar memiliki perasaan sejajar dengan bangsa lain.
Saya tidak mau mengatakan bahwa bangsa saya yang saya cintai ini, bangsa Indonesia, bukanlah satu bangsa yang ”normal” dalam ukuran saya itu. Yang hanya ingin saya pertanyakan adalah, mengapa bangsa ini sudah menyerah sebelum bertanding. Mengapa inferioritas dianut secara sukarela?
Kondisi terjajah oleh Belanda selama 3,5 abad lamanya bisa jadi berperan besar dalam hal ini. Pada masa penjajahan ini, bangsa pribumi memang diposisikan sebagai kasta terendah dalam struktur sosial. Tertinggi, tentu bangsa kumpeni dari ras kaukasus. Setelah itu, bangsa kulit putih lain yang non-kumpeni. Strata berikutnya diisi oleh kaum pedagang tionghoa, india, dsb. Setelah itu baru kalangan pribumi yang memilih untuk tunduk pada penjajah dan menjadi perpanjangan tangan mereka. Ini termasuk kalangan pejabat, pangreh praja, dan sebagainya. Setelah itu, barulah kalangan rakyat jelata.
Pasca-penjajahan, toh ternyata struktur sosial itu masih bertahan dalam benak bawah sadar bangsa Indonesia.
Entah kenapa, ada satu pemahaman umum bahwa bangsa eropa, atau bangsa apapun yang memenuhi kriteria untuk disebut ”bule”, adalah bangsa yang beberapa tingkat diatas bangsa Indonesia. Atas dasar itu, kemudian kita (bangsa Indonesia kebanyakan) menganggap bahwa kita tidak sebanding dengan mereka, dan bahwa mereka perlu diperlakukan berbeda dengan cara kita memperlakukan bangsa sendiri. Bahkan, secara tak sadar, muncul fenomena rendah diri sebagai bangsa.
Pada poin ini tentu akan ada pertanyaan : ”mmmmm.... wan... LU NGOMONGIN APA SIH??”
Satu ilustrasi, pengalaman pribadi...
Bulan Februari lalu, saya ditugaskan oleh kantor saya untuk mengikuti sebuah workshop di Yogya. Karena pelaksanaannya juga didanai oleh sebuah lembaga donor asing, tentu juga ada beberapa peserta workshop yang berkewarganegaraan asing. Eropa lebih tepatnya. Saya kurang tahu, mungkin Jerman atau Kanada.
Pada hari ke-2 dan ke-3 workshop, praktis perwakilan kantor saya ini hanya saya sendiri, berhubung bos-bos langsung menuju Jakarta lagi pada hari pertama. Dan karena kadang perlu opini yang mewakili (ato minimal ada suaranya lah) dari kantor, saya memberanikan diri untuk terlibat aktif dalam diskusi-diskusi yang terjadi.
Dalam diskusi-diskusi tersebut, ada satu fenomena yang cukup lucu (kalau tidak mau dibilang menyedihkan). Saya perhatikan, peserta workshop senang sekali mendebat atau menyanggah opini atau pendapat dari rekan peserta lain, yang berasal dari daerah, atau pokoknya orang Indonesia. Tapi kalau yang beropini atau mengarahkan rapat itu adalah kedua bule tadi, tiba-tiba semuanya diam, mengangguk-angguk tanda setuju, dan tidak mendebatnya. SELALU mendukung.
Maka saya pun mengadakan sebuah eksperimen sederhana.
Ada sebuah opini dari saya yang ditolak, dibantah, atau tidak ditanggapi oleh peserta workshop. Entah ini karena memang opini saya yang buruk, atau karena sejak awal saya dipandang sebagai ”anak bawang” (berhubung paling muda). Bukan berprasangka buruk, tapi saya agak kesal saja kalau setiap ada yang menyanggah selalu dikaitkan dengan ”pak Awan ini kan masih belum banyak pengalaman, blablabla”.
Maka pada waktu sesi istirahat makan siang, saya mencoba berbincang dengan kedua bule tadi (saya perhatikan cukup jarang yang ngobrol bersama mereka. Kalaupun ada, biasanya sekedar mengangguk-angguk saja). Saya coba komunikasikan opini saya yang ditolak forum tersebut pada mereka. Dan ternyata mereka sedikit banyak sependapat dengan saya. Mereka juga ternyata memperhatikan fenomena yang saya perhatikan tadi. Mereka sadar kalau setiap perkataan mereka seringkali dianggap sebagai ”kebenaran mutlak” tanpa kritisi. Mereka bahkan telah bereksperimen juga. Salah seorang diantara mereka telah mengajukan opini yang, secara sengaja, salah. Diterima. Yang lain, menyanggahnya dan mengkoreksi. Diterima juga.
Maka saya coba meminta mereka untuk mengajukan ulang opini saya di forum.
Forum kembali dimulai, dan kedua bule itu mengajukan opini saya.
Hasilnya? Yap, benar sekali saudara-saudara. Diterima tanpa keraguan. Kami (saya dan kedua bule) senyum-senyum saja. Tentunya, senyum saya itu tak lebih dari senyum kekecewaan.
Fenomena serupa bisa kita perhatikan di media massa, yang notabene membentuk atau terbentuk dari pemahaman masyarakat secara luas atas suatu hal.
Acara-acara semisal ”Bule Gila” atau ”Turis Dadakan” misalnya.
Bisa kita perhatikan, betapa orang akan terbengong-bengong saat melihat seorang bule menjadi sopir bajaj, bule menjadi tukang sapu, tukang daging, tukang jahit, tukang sate, tukang rokok, pengamen. Lha sekarang pertanyaannya adalah, “emang apa yang aneh sih??” Bukankah di negara asal mereka pun ada tukang jahit, tukang daging, tukang sapu jalan, dsb??? Lalu kenapa aneh saat mereka jadi tukang sate disini??
Atau kita merasa bahwa pekerjaan semacam itu “hanya cocok untuk pribumi” atau “orang bule gak pantas (atau gak mungkin) melakoni pekerjaan semacam itu”??
Lalu mengapa kita merasa hanya pribumi yang layak untuk pekerjaan-pekerjaan tadi??
Atau dalam Turis Dadakan misalnya, saya benar-benar sedih melihat bagaimana kaum miskin kota seolah “rela diperlakukan bagaimana saja” oleh seorang bule. Oke, saya senang melihat mereka bisa berbahagia, merasakan liburan mewah, dsb. Tapi saya kurang suka melihat salah satu episode dimana si bule membeli kerupuk banyak sekali dan temannya (yang diajak liburan itu) disuruh membawa semua belanjaannya, lalu salah satu kerupuk itu disuruh dibawa dengan cara digigit. Ini apa maksudnya?? Lha kok mau-maunya seperti itu??
Contoh lain, iklan. Iklan wafer Tango mungkin bisa kita jadikan contoh. Di salah satu iklannya, dikisahkan seorang pahlawan bertopeng menolong dua anak kecil. Si pahlawan bertopeng tergiur melihat wafer tango sehingga melepas topengnya untuk memakan wafer tersebut, dan si anak kecil bisa mengambil fotonya. Seperti bisa ditebak, entah kenapa, pemeran pahlawan bertopeng itu adalah, seorang bule.
Pada episode lain (masih wafer Tango), dikisahkan seorang ilmuwan yang sepertinya dianggap memiliki resep rahasia kenikmatan wafer Tango ditawari sejumlah uang oleh sebuah perusahaan orang bule untuk bekerja pada mereka. Si bule yang memimpin perusahaan itu terlihat sangat menyukai wafer Tango. Adapun si pemimpin perusahaan itu bisa saya simpulkan sebagai bule adalah karena tiga perkataan (yang mana sepanjang iklan itu memang hanya itu dialog yang keluar), yaitu : ”Please”, ”Join us!!”, dan ”Switch to plan B !!!”.
Iklan lain, produk air mineral yang saya lupa namanya, tapi memakai Dave Koz sebagai bintang iklannya. Dan iklan-iklan lain yang bisa anda sebutkan sendiri.
Terhadap iklan-iklan semacam ini, saya hanya bisa bingung, kenapa sih harus pakai model bule atau kalaupun tidak, kebarat-baratan???
Semoga bukan karena ingin menimbulkan pemikiran semacam : ”tuh, liat, bule aja suka, berarti kita juga harus suka dan beli produknya...bule aja suka gitu loh...”
Karena kalau memang pemikiran seperti itu yang ingin ditimbulkan, bukankah itu agak-agak merendahkan selera/cita rasa bangsa sendiri? Atau minimal, terlalu mengagungkan selera bangsa lain.
Selain itu, pemahaman umum mengenai ”kecantikan” pun sepertinya telah terglobalkan oleh paham itu. Silakan lihat di sinetron-sinetron atau film Indonesia. Berapa banyak artis-artisnya yang secara global memang dianggap ”cantik” menghiasi layar kaca kita? Kalo nggak bule, ya indo. Tentu, ini tidak termasuk sinetron-sinetron semacam Rahasia Ilahi ya. Dikerubuti belatung atau muntah-muntah darah ketika mati nampaknya masih menjadi milik muka-muka asli Indonesia, bukan muka indo.
Sebagai penggemar sepak bola nasional, tentu saya pun harus menyinggung perkara terlalu diagungkannya pemain asing di tanah air kita ini. Kalau dalam konteks ini, tidak hanya eropa, tapi semua pemain asing dari negara manapun, seolah selalu dianggap paling jago di suatu tim. Kalau begini terus, kapan pemain muda kita akan terbina??? Akibatnya sudah jelas kan? Kita selalu kalang kabut dalam memilih pemain timnas sepak bola. Ya bagaimana tidak kalang kabut kalau di liga sendiri, pemain-pemain terbaik di semua posisi didominasi oleh pemain asing. Pemain nasional perlu diberi kepercayaan dan kesempatan bersaing yang adil !!
Saya bukan bermaksud rasis. Saya membenci rasisme. Rasis seringkali dipahami sebagai pemahaman yang merendahkan atau menganggap ras lain lebih inferior. Saya hanya mengungkapkan kekhawatiran saya bahwa yang terjadi pada bangsa Indonesia terhadap bangsa lain (khususnya eropa, Amerika, dan lain-lain) adalah kebalikan dari Rasis, yaitu fenomena rendah diri secara bangsa (ke-rendah diri-an sosial), dimana suatu bangsa secara bawah sadar memandang dirinya lebih inferior dibanding bangsa lain. Kalau fenomena ini yang terjadi, kapan bangsa ini akan maju???
Pada dasarnya, saya ingin mengajak kita semua untuk kembali pada fitrah kita semua sebagai manusia. Tidak ada segolongan manusia yang lebih rendah maupun lebih tinggi dibanding golongan lain, kecuali diukur dari tingkat keimanan dan amalan-amalannya. Itu saja. Kalau kembali ke pemahaman ini, tentu tidak perlu ada rasisme, dan tidak perlu ada sifat minder dalam satu bangsa. Tidak perlu ada yang merendahkan suku bangsa lain, dan tidak perlu ada yang merasa rendah dibanding suku bangsa lain. Semua sama dihadapan Allah, dan karenanya, semua bangsa memiliki kesempatan yang sama untuk maju, kalau bangsa itu mau bermimpi dan berusaha.
Merasa tertinggal dari bangsa lain sah-sah saja. Bahkan itu adalah sesuatu yang baik, karena kalau kita tidak sadar bahwa kita tertinggal, kita tidak akan terpacu untuk maju. Yang penting, jangan sampai memandang bahwa bangsa kita lebih rendah dari bangsa lain. Itu saja. Beda lho merasa tertinggal dengan merasa diri lebih rendah. Satu yang pasti adalah kebalikannya: jangan sombong! (lha, gak nyambung...)
ditulis oleh
Awan Diga Aristo|